Pages

Senin, 06 Desember 2010

Cara Tuhan

Cerita ini adalah kejadian nyata yang saya alami beberapa hari lalu bersama rekan saya.

Sabtu, 4 Desember 2010
Di IPB akan di adakan turnamen futsal antar-OMDA(Organisasi Mahasiswa Daerah) se-Pulau Jawa yang bertajuk Java Cup. Turnamen ini diikuti oleh 32 tim dari berbagai OMDA yang terdaftar di IPB. Bogor yang struktur OMDA-nya belum jelas tetap hadir dalam kompetisi ini.

(ganti bahasa)

Sebenernya Bogor belum bisa disebut OMDA, tapi karena pada penyelenggaraan sebelumnya Bogor menjadi juara, maka Bogor kembali mengikuti turnamen ini. Sejalan dengan struktur OMDA yang belum ada, persiapan untuk turnamennya pun terbilang sangat minim. 2 hari menjelang pertandingan, kostim belum ada. Untuk itu, Dwi Ari sebagai penggerak Tim Bogor, berinisiatif membeli kostim (tentunya dengan meminta bantuan saya)

Di sinilah awalah ceritanya.
Jadi, hari Sabtu kemarin, saya dan Ari berencana membeli kostim di daerah Taman Puring, Jakarta. Selain karena terkenal harganya murah, kualitas dan modelnya pun tergolong bagus. Kita berencana berangkat jam 12 siang, karena paginya saya harus latihan futsal dulu. Seperti biasa, rencana berangkat jam 12 tapi yang terealisasi baru berangkat jam 2 siang,,hahaha.

Kita berangkat naik kereta ekonomi AC. Ari yang tidak ikut latihan futsal pada pagi harinya, sudah menunggu di stasiun terlebih dahulu. Ketika saya datang di stasiun, kereta sudah mau berangkat dan Ari sudah ada di dalam kereta. Dengan sedikit terburu-buru saya bergegas masuk ke dalam gerbong lalu menemui Ari.

Alhamdulillah, kita berdua dapat tempat sehingga bisa duduk dengan santainya. Tetapi, baru 1 stasiun kita lewati, yaitu di Stasiun Cilebut, masuk beberapa penumpang baru dan diantaranya adalah ibu-ibu lengkap dengan anaknya. Karena bangku sudah penuh, ibu itu pun (terpaksa) berdiri tepat di depan saya dan Ari. Dalam hati saya terjadi gejolak batin yang sangat hebat, begitu hebat, sehingga membuat saya berada di persimpangan. Di satu sisi iba melihat ibu dan anaknya berdiri (sembari teringat ibu di rumah), di satu sisi kaki dan badan saya lelah karena tadi pagi latihan futsal. Namun, sesuai peraturan yang terpampang di dinding gerbong, seharusnya saya mendahulukann ibu tersebut untuk duduk.

Akhirnya, dengan cara yang sudah familiar di kalangan para ANKER (Anak Kereta), saya dan Ari mencoba untuk tidur dengan maksud pura-pura tidak menyadari keberadaan ibu dan anaknya tadi. Ternyata, kami berdua tertidur dengan pulas, sehingga tidak sadar kalau stasiun yang kita tuju, Pasar Minggu, sudah hampir sampai. Ketika kita berdua terbangun, kereta sedang berhenti, tetapi kita tidak tahu dan bingung sedang berada di stasiun mana. Dengan nyawa yang baru 1/2 terkumpul, kita melihat ke arah luar dengan maksud mengenali nama stasiun ini. Hasilnya, kita tidak tahu. Saya berinisiatif bertanya pada penumpang lain dan penumpang tersebut menjawab, " Ini Pasar Minggu, de. ".

Dengan kondisi masih setengah sadar (efek bangun tidur) kita buru-buru untuk turun dari kereta, tapi pintu sudah hampir tertutup secara otomatis (kereta eko AC pintunya tertutup otomatis tanpa sensor). Ari yang badannya lebih kecil dari saya mencoba turun dari kereta kendati pintu sudah hampir tertutup. Saya beserta seluruh penumpang lainnya hanya bisa menyaksikan aksi Ari menerobos pintu kereta tersebut. Dengan perasaan sangat deg-degan, akhirnya Ari bisa turun dari kereta, walaupun dengan berbagai macam makian dari penumpang lainnya.

"Dasar anak muda !"
"Wooii, jangan nerobos !"
"Astagfirullah!"
"De, itu temennya kenapa nerobos gitu?"
"Aduuuh, untung ga kenapa2, klo ngga kakinya bisa *****"

Saya yang masih tertinggal dalam gerbong hanya bisa mengelus dada. Jika saja Ari telat sepersekian detik (kurang dari 1 detik), mungkin hasilnya akan lain (saya tidak ingin berspekulasi, hanya Allah yang tahu hasilnya). Saya pun turun di stasiun berikutnya, lalu naik kereta lagi ke arah stasiun sebelumnya tempat Ari turun tadi.

Kalau dirunut penyebab kejadian Ari tersebut, (mungkin) diawali dengan tidak mau memberi duduk ibu dan anaknya tadi. Sehingga kami memilih tidur dan akhirnya malah ketiduran sampai kejadian tersebut terjadi.

Cara Tuhan memang beragam.
Hikmahnya : mau bagaimana pun kondisi kita, kita yang lebih muda yang notabene memiliki fisik lebih baik dibanding orangtua, harus mendahulukan orang tua untuk duduk. Apalagi orangtua tersebut bersama anaknya yang masih bayi.

Terima kasih ya Allah atas tegurannya dan keselamatan yang Engkau berikan kepada teman saya, Dwi Ari Susanto.

5 komentar:

  1. hihihi...gw kira bakalan ngasih tempat duduk lu.

    BalasHapus
  2. biasanya mah selalu ngasih ki,,tapi ga tau kenapa kayanya banyak bisikan setan,,hehe

    BalasHapus
  3. boong ih biasanya juga ga pernah ngasih ge ngaku2 aja nih hahahahaha :p

    BalasHapus
  4. emang ga pernah ngasih,,biasanya gw pangku tuh ibu2,,ckck

    BalasHapus