Nanta menyusuri koridor kelas di tengah jam pelajaran siang itu. Langkahnya gugup dan dari wajahnya terlihat jelas ia sangat takut. Pasalnya, sebelum keluar kelas tadi, Pak Edi guru Bahasa Indonesia yang terkenal tegas dan galak menyuruh Nanta untuk datang ke ruangannya. Terlintas dalam benak Nanta berbagai hukuman yang akan diterimanya, mengingat ia absen empat kali di mata pelajaran beliau.
“Selamat siang Pak” ucap Nanta tergagap. Tangan Nanta berkeringat. Ia menghela napas panjang dan saling mengusapkan kedua tangannya.
“Siang. Masuk Nta, silakan duduk!” Pak Edi menoleh dan menurunkan kacamatanya saat melihat kedatangan Nanta. Kumis tipis dan rambut yang selalu tersisir dengan rapi, ditambah wajahnya yang terkesan selalu serius membuat beliau menjadi sosok seorang guru yang disegani oleh murid-murid di SMA Negeri 3 Bandung ini.
“Langsung saja ya Nta,” Nanta mengangguk perlahan.
“Bapak ada tugas yang mesti kamu selesaikan, tugasnya berupa laporan tentang kegiatan ekstrakulikuler yang dilaksanakan seusai pulang sekolah.” Pak Edi menyerahkan selembar kertas tentang sistematika laporan yang harus ditulis Nanta.
“Tapi Pak, bukankah ekstrakulikuler di sekolah kita ada lebih dari dua puluh?”
“Bapak hanya minta kamu menuliskan dua belas laporan ekstrakulikuler saja dalam waktu dua minggu. Hari Senin nanti kamu sudah meletakkan laporan itu di atas meja Bapak. Kamu juga akan dibantu oleh Bintang.”
“Maksud Bapak, Bintang dari kelas Dua Belas IPA Satu?” Nanta terperangah.
“Iya. Bapak sudah menghubungi Bintang, dan dia tidak keberatan untuk membantu kamu. Saran Bapak, kamu mulai mengerjakannya sore ini.”
“Baik Pak. Saya mohon ijin” Nanta berjalan keluar kantor dengan lunglai.
Padahal, Nanta sudah memiliki rencana untuk tiga minggu ke depan. Ia akan berlatih bermain billyard di rumah Om Wahyu. Memang masih tersisa waktu satu minggu, tapi apa itu cukup?
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Nanta duduk di kursi depan kelasnya. Dengan tangan terlipat, Nanta memikirkan berbagai hal tentang Bintang. Tak banyak hal yang diketahuinya. Ia hanya mengetahui bahwa Bintang adalah salah satu murid terpintar dan terkaya di sekolahnya. Ia pernah menjuarai berbagai lomba, khususnya lomba mengarang, hal yang mati-matian dibenci oleh Nanta.
“Hai, kamu Nanta ya?” tiba-tiba seorang gadis muncul di hadapannya.
Wajah gadis itu sangat cantik. Matanya bulat dan berwarna coklat bening. Bibirnya tipis dan merah.
“Eh, iya. Lo siapa ya? Ko tau nama gue?” tanya Nanta tak hentinya memandangi wajah gadis itu. Sudah satu tahun lebih Nanta sekolah di SMA itu, namun ia merasa tidak pernah melihat gadis itu sebelumnya.
“Aku Bintang, kelas dua belas IPA satu. Kemarin, Pak Edi minta aku untuk menemani kamu mengerjakan laporan. Kebetulan, aku sedang tidak ada kegiatan.” jelas Bintang. Nanta terpaku, ia tidak menyangka.......
“Kenapa? Kamu pikir karena aku duduk di kursi roda ini, aku tidak bisa membantu kamu?” tutur Bintang blak-blakan tanpa emosi.
“Bukan. Gue ga enak aja sama lo.” balas Nanta kikuk. Ia benar-benar tidak menyangka, bahwa Bintang sang murid terpintar ternyata duduk di atas kursi roda. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Bagaimana dengan kondisi yang seperti ini Bintang dapat begitu gemilangnya meraih prestasi?
“Mau mulai sekarang?” tanya Bintang memecah lamunan Nanta.
“Mmmmh....ayo!Gue ambil tas dulu ya.”
###
Sesampainya di rumah Nanta......
“Gagal semuanya.” Nanta membanting tasnya ke arah sofa.
“Apa yang gagal Nta?” Ayah Nanta menoleh melihat anak semata wayangnya mencibir.
“Yang gagal itu rencana Nanta latihan billyard. Udah ga jadi latihan, harus ngerjain tugas lagi.”
Nanta menceritakan semua kejadian siang itu. Dengan sabar, ayahnya mendengarkan, ia hanya tersenyum melihat Nanta begitu kesal dan menggebu-gebu. Nanta memang berbeda dari sebelum bunda meninggalkannya. Ia tidak lagi bisa menceritakan apa yang sebenarnya ia rasakan, walaupun matanya selalu mengungkapkan hal itu. Ia juga lebih banyak menyendiri. Namun, setengah tahun terakhir ini, Nanta mulai kembali seperti semula. Ia sudah kembali bersemangat dan ceria.
Sampai pada suatu hari dimana ia pulang dalam keadaan menangis...
“Kamu juga sih, pake acara bolos segala.” Ayah menjawab napas Nanta yang menandakan bahwa ia menunggu reaksi dari ayahnya. Nanta tertunduk.
“Kenapa Nta? Masih belum bisa lupain hal itu?”ucapnya lagi. Melihat gelagat Nanta yang ingin pergi. Ia menahan tangan Nanta.
“Ayah ngerti....”
“Ayah tuh ga ngerti apa-apa tentang perasaan Nanta.” Nada bicara Nanta mulai meninggi dan ia cepat-cepat beranjak dari sofa. Beberapa saat kemudian, terdengar pintu kamar Nanta tertutup.
Nanta mengurung diri di kamar. Ia menangis di atas bantal pemberian bunda. Hatinya teriris. Nanta teringat kembali saat dimana ia pulang dalam keadaan basah kuyup dan sangat terluka.
Tiba-tiba...
TIRIRIT....
Handphone Nanta berbunyi, menandakan ada sms yang masuk. Nanta mengambilnya...
Nta, jangan lupa
mulai tulis laporannya.
Besok kita ketemu di depan
kelas kamu. Semangat ya! Bintang
Nanta beranjak dari kasur berjalan menuju meja belajar di ruang tengah. Ia mulai menyalin laporan yang telah dibuatnya sore tadi. Sedikit demi sedikit Nanta lupa akan kesedihannya.
Sampai fajar menyingsing, ia tertidur dengan kepala di atas meja belajar. Saat terbangun, kain hangat yang menyelimutinya semalaman terjatuh. Di sudut meja itu, ada secarik kertas yang ditahan segelas susu segar bertuliskan:
“Nanta sayang, maafin ayah ya!”
“Mmmhh.....ayah” gumam Nanta. Nanta tersenyum dan mengambil langkah ringan menuju kamar mandi. Nanta tumbuh menjadi remaja yang dewasa dan mandiri. Bimbingan ayah, membuat Nanta merasakan kasih sayang bunda yang tersalurkan melalui perhatian dan pengertian. Nanta selalu yakin, ayah sangat mencintai bunda, sejak empat tahun yang lalu hingga sekarang ayah masih menduda. Kata ayah, bunda adalah cinta monyet, pertama dan terakhir bagi ayah. Perkataan ayah tersimpan rapi di hati Nanta dan perbuatan ayah memberikan bukti nyata padanya, bahwa cinta itu cukup diberikan pada satu orang saja.
###
Sudah seminggu Nanta menjalankan tugasnya. Bintang pun selalu hadir menemaninya. Mereka mulai menjadi teman yang akrab. Bintang gadis yang sangat baik. Walaupun ia duduk di atas kursi roda, Bintang tidak pernah merasa rendah diri dan memakai kelemahannya untuk membuat orang lain iba dan memperhatikannya. Nanta pun mulai terbawa suasana. Ia kembali ceria dan bersemangat seperti dulu lagi.
“Aku senang sekali bisa membantumu Nta.” Kata Bintang saat mereka duduk di bawah pohon sambil memperhatikan murid-murid yang sedang mengikuti latihan taekwondo.
“Justru gue yang seneng, thank’s ya lo dah mau bantuin gue” ujar Nanta seraya tersenyum.
“Sebenarnya aku yang seharusnya berterima kasih. Karena kamu, semangat hidup aku semakin bertambah.”
“Gue? Ko bisa?” kata Nanta seraya menunjuk dirinya.
“Ya, sejak kecelakaan itu aku tidak mau pergi sekolah. Kakiku lumpuh total. Dokter sudah angkat tangan menanganiku. Orangtuaku pun menyarankan aku untuk melanjutkan sekolah di SMA Luar Biasa. Aku menangis, dan meminta supir serta suster rumah sakit untuk menemaniku keluar dari rumah untuk sesaat. Lalu aku bertemu kamu. Kamu datang ke sebuah cafetaria bersama seorang laki-laki dan duduk di depan mejaku.”
Bintang terdiam sejenak, matanya mulai berkaca-kaca tapi bibirnya menyunggingkan senyum bahagia. Nanta memandang wajah Bintang, lalu tangannya merengkuh tangan Bintang.
“Kalo lo ga bisa cerita ya udah, jangan dipaksain.” Nanta mencoba menghibur Bintang. Di dalam hatinya ia merasakan perih yang tidak diketahui oleh Bintang. Saat itu, ia sedang berkencan di sebuah cafetaria kesukaannya bersama Adi. Laki-laki yang singgah selama setengah tahun dan memberikan setetes kebahagiaan, namun menanamkan sejelaga kepedihan untuk Nanta.
“Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraanmu. Aku tidak tahu pasti apa yang kamu perbincangkan. Saat itu kamu mengatakan, ‘mereka yang ingin bunuh diri berdalih tidak punya lagi alasan untuk hidup. Padahal kalau kita tidak tau apa alasan untuk hidup, cukup datang saja kepada orang yang mencintai kita, karena mereka adalah alasan untuk hidup...’ ”
“Terlalu egois jika kita hanya memikirkan diri sendiri dan tidak memperdulikan orang-orang yang akan sedih jika kita meninggalkan mereka.” Nanta dan Bintang mengucapnya bersamaan. Nanta masih ingat akan perkataannya ketika Adi membacakanberita gadis yang bunuh diri di koran.
“Kamu tahu Nta? Ketika kamu mengucapkan hal itu, mimik wajahmu sangat berbeda, kamu sangat cantik. Matamu menerawang, dan wajahmu tertunduk. Seolah-olah kamu mempertanyakan kenapa mereka sampai melakukan hal itu. Padahal alasan untuk hidup bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga orang disekelilingnya. Selesai mengucapkan hal itu, kamu tersenyum kecil. Membuat orang yang memperhatikanmu tidak membiarkan matanya tertutup.”
“Lo berlebihan Bin.” Nanta tersenyum.
“Setelah itu aku pulang dan mengatakan kepada kedua orangtuaku aku akan tetap bersekolah di sini. Pihak sekolah awalnya tidak menyetujui hal itu, tapi melihat aku begitu bersemangat akhirnya kepala sekolah menyetujuinya.”
“Dan liat sekarang, lo bukan cuma sekedar gadis yang duduk di atas kursi roda. You shining like a stars on the sky like your name, Bintang.” ucap Nanta sambil memejamkan matanya dan menengadahkan kepalanya menghadap langit, membayangkan ia melihat bintang di atas sana.
“Apa yang kamu lihat saat kamu memejamkan matamu Nta?” ucap Bintang yang mulai ikut memejamkan matanya.
“Gue liat semua bintang bersinar, mereka ada dan sangat dekat......”
“Kalau aku cuma melihat kematian yang berjalan semakin mendekatiku.”
Nanta membuka matanya, “Ko lo ngomong gitu?”
“Aku takut Nta,”Bintang terisak
“Kematian itu bukan suatu hal yang harus lo takutin, tapi suatu hal yang harus lo persiapkan.” Nanta mengelus kepala Bintang.
“Jangan nangis dong! Eh, lo mau permen ga?” Nanta menyodorkan dua butir permen kepada Bintang.
Bintang menghapus air matanya dan mulai tersenyum, “Boleh, terimakasih ya.” Bintang mengambil permen itu dan memakannya. Sesaat hening...
“Yak, permen apaan nih? Asem banget” ucap Bintang spontan. Wajah putihnya memerah.
“Ha...ha.....ha....itu permen asem. Sorry Bin, gue cuma pengen tahu muka jelek lo kaya gimana.” Nanta terkekeh.
Bintang ikut-ikutan tertawa. “Dasar Nanta!”
Setelah melihat Bintang tertawa, Nanta berucap dalam hati “Gue janji Bin, lo bakalan ngeliat apa yang gue liat.”
“Tuh, supir lo dah ngejemput.” tunjuk Nanta ke arah mobil sedan hitam.
“Yo, gue bantu lo ke mobil.” Nanta mendorong kursi roda Bintang dan mengangkatnya ke dalam mobil bersama suster pribadi Bintang. Nanta membungkuk mengambil sebuah disket yang terjatuh saat mobil Bintang berlalu pergi. Disket itu bertuliskan Nanta Silvydiana. Ia heran karena itu bukan miliknya. Lalu ia bergegas pulang untuk melihat isi disket itu.
###
Keesokkan harinya......
Nanta menuruni tangga dan berlari mendatangi kelas Bintang. Hatinya gusar dan dipenuhi emosi. Bintang sedang duduk membaca buku. Pagi itu, kelas Bintang sangat sepi. Semua anak keluar kelas untuk mengikuti pelajaran olahraga.
“Kalo lo ngira bisa ngejadiin gue objek buat tulisan lo. Lo salah besar. Gue tegesin ya, temen gue emang cuma itu-itu aja. Tapi bukan berarti gue nge-rasis kumpulan murid-murid serampangan kaya apa yang lo tulis.” Nanta melempar sebuah disket ke samping kursi roda Bintang.
Bintang meraih disket itu dan menatapnya lekat.
“Bukan gitu maksud aku Nta.” ucap Bintang lemah. Wajah Bintang berubah pucat pasi.
“Lo juga sengaja kan nawarin diri buat ngebantuin gue supaya lo bisa bikin tulisan sesuai kenyataan, dengan objeknya seorang murid penyendiri dan merasis bersama kumpulannya. Apa bedanya maksud lo sama manfaatin gue? Ternyata gue salah berfikiran tentang lo Bin. Satu hal lagi, kalau lo menang dalam perlombaan itu, lo ga usah repot-repot ngebagi dua hadiahnya. Gue ga mau dibawa-bawa dalem tulisan lo.”
Nanta berlari meninggalkan Bintang yang menangis. Kata-kata Nanta tadi sangat meresap ke dalam hati Bintang. Tiba-tiba.......
“Brukk” Bintang terjatuh dari kursi rodanya, ia tak sadarkan diri.
###
Sudah empat hari Bintang tidak datang menemani Nanta menyelesaikan laporannya. Nanta tak dapat berbohong bahwa ia merindukan Bintang. Nanta terus menunggu Bintang di depan kelasnya. Ia menyadari bahwa kata-katanya pada Bintang terlalu kasar. Ia sangat menyesal. Nanta baru menyadari arti Bintang dalam hidupnya. Nanta berjalan melewati kantin. Ia mendengar teman-temannya berbisik-bisik.
“Lo semua tau ga? Si Nanta? Udah kaya lesbian aja ya ama si Bintang”
“Iya, bener. Kemaren juga gue ngeliat mereka berdua pegang-pegangan di bawah pohon ngeliatin anak-anak yang lagi pada taekwondo.”
“Yah, palingan juga kalo ga karena kasian, si Nanta temenan deket ama Bintang karena ngincer hartanya.”
“Lagian si Bintang juga sih. Goblok, kaga ngerti klo si Nanta...” belum selesai kalimat itu diucapkan, Nanta menghampiri mereka dan menyiram mereka semua dengan segelas air jeruk.
“Lo apa-apaan sih Nta?” teriak salah satu dari mereka.
“Eh lo semua yang apa-apaan? Masih untung gue siram pake air jeruk ga pake air bau sebau mulut lo semua.”
“Nyokap-bokap gue aja ga pernah nyiram gue kaya lo” tunjuk gadis centil yang paling banyak terkena siraman air jeruk.
“Pantesan lo semua jadi cewek yang kurang ajar. Denger ya! Gue ga peduli ama apa yang lo omongin tentang gue. Tapi yang sebenernya goblok itu lo semua bukan Bintang.” Nanta meninggalkan mereka yang terpaku pada kata-kata Nanta. Tidak pernah Nanta terlihat semarah itu.
Nanta mencuci wajahnya di westafel kamar mandi sekolah. Ia sangat kesal. Nanta menyeka air di wajahnya dengan saputangan pink kesayangannya. Ia berjalan lunglai melewati kantor.
“Nanta” Nanta menoleh.
“Sini sebentar, ada yang ingin Bapak bicarakan.” Pak Edi memanggilnya. Nanta menghampiri Pak Edi dan duduk di hadapan beliau.
“Tadi malam orangtua Bintang datang ke rumah Bapak. Mereka mengatakan sekarang Bintang dirawat dirumah sakit. Kondisinya amat lemah. Ia terus-terusan menanyakan tentang kamu. Ada apa Nta? Kalau kamu ingin mengetahui bagaimana awalnya Bapak bisa menyangkutkan Bintang dalam tugas kamu, awalnya Bintang datang ke ruangan Bapak dan mengemukakan keinginannya untuk mengikuti lomba menulis dan Bintang ingin menulis tentang kamu. Bapak juga tidak tahu alasan kuatnya.”
Nanta tak bergeming. Sesaat kemudian, ia segera berlari menuju rumahnya dengan perasaan bercampur aduk antara sedih, terkejut dan kesal.
Malam itu, Nanta pergi ke rumah sakit ditemani ayah. Wajahnya sangat khawatir, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. Tangannya terus memegangi sebuah kotak usang yang lama tak dibukanya.
Sesampainya di depan kamar rawat Bintang, Nanta menarik napas panjangnya. Nanta terlihat begitu kuat dan tegar, namun jika saja dapat mengetahui bahwa ia sesungguhnya begitu ringkih dan rapuh. Ayah menatap Nanta dan mengecup keningnya.
“Sepertinya kamu mulai memahami sekarang.” ujar ayah seraya tersenyum.
“Memahami tentang apa Yah?” tanya Nanta
“Memahami kalau cinta itu universal.”
“Maksud Ayah?” tanya Nanta lebih lanjut.
“Maksud Ayah, kamu sudah mengerti bahwasanya jika kita tidak mendapatkan orang yang sangat kita cintai, maka biarkan cinta itu tersebar ke setiap orang...”
“Cukup untuk satu alasan, karena setiap orang berhak mendapatkannya.” Nanta melanjutkan. Nanta menatap ayah yang memandangnya dengan tersenyum.
“Kalau bunda masih ada, dia pasti sangat bangga melihat kamu. Kamu sudah semakin dewasa dan matang sekarang.” Ayah mengelus rambut Nanta yang tergerai. Tak terasa air mata harunya menetes. Nanta mengusapnya.
“Kalau bunda masih ada sekarang, bunda pasti sangat bahagia melihat ayah begitu menyayangi Nanta. Makasih Yah!” Nanta berjingjit dan mengecup lembut pipi ayahnya.
“Nanta masuk dulu ya Yah.”
Ayah mengangguk perlahan. Nanta mengetuk pintu kamar Bintang. Sesaat kemudian pintu itu terbuka. Seorang wanita berpakaian putih berdiri di balik pintu itu.
“Nak Nanta ya?” tanya wanita itu. Nanta tersenyum kecil.
“Iya Tanteh, dan ini ayah saya.” Nanta menjabat tangan wanita itu.
“Saya ibunya Bintang, mari silahkan masuk!” wajahnya pucat dan terlihat kelelahan. Nanta menatap Bintang yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya dipenuhi oleh selang infus. Nanta duduk di samping ranjang dan menyentuh tangan Bintang.
“Bin, gue dateng. Buat lo.” Nanta hanya diam setelah itu. Nanta pun menyarankan ayah dan ibunya Bintang untuk pulang. Ia bersikeras menunggui Bintang malam itu. Akhirnya, mereka mengijinkan Nanta untuk menginap.
Nanta tidak tidur semalaman. Ia sibuk menggantung hiasan bintang perak di atas langit-langit kamar Bintang. Setelah selesai, ia berdiri di sisi jendela melihat hujan yang yang turun rintik-rintik dan berkata sambil mendekati ranjang Bintang, “Lo liat Bin...semua bintang jatuh buat lo. Lo harus liat apa yang gue liat Bin. Biar lo bisa ngeliat dan ngerasain kalo mereka itu ada dan dekat. Lo mau sembuh kan Bin?” Nanta mulai berbisik perlahan, tak terasa air matanya menitik sampai ia jatuh terlelap di samping ranjang Bintang.
###
Sentuhan halus di kepala Nanta membangunkannya. Nanta spontan terbangun. Di hadapannya ada seorang gadis yang sedari tadi memperhatikannya. Gadis itu tersenyum lemah dan gadis itu Bintang.
“Bin, lo dah bangun? Gimana keadaan lo? Lo pasti dah bangun dari tadi ya? Ko ga bangunin gue?” tanya Nanta bertubi-tubi. Ia tidak lagi memperdulikan selimut yang tergeletak di lantai.
“Aku baik-baik aja. Kata dokter, lusa boleh pulang. Kira-kira udah sejam yang lalu aku bangun, tapi aku ngga mau bangunin kamu. Kamu pasti capek ngebuat ini semua” jawab Bintang sambil menatap ke langit-langit yang masih tergantung hiasan bintang.
“Bin, gue minta maaf. Waktu itu gue ngomong kasar ke lo. Gue ga bisa ngontrol emosi gue. Harusnya waktu itu gue dengerin dulu penjelasan lo.” tutur Nanta. Ia menundukkan wajahnya, dan memalingkan matanya yang sembab.
“Ngga apa-apa, aku juga minta maaf Nta. Harusnya aku jujur ke kamu. But everything happen for a reason, right?”
“Ya, lo bener. Kalau waktu itu gue ga marah-marah gue ga sadar sifat asli gue, dan gue juga ga bakal tau kalau gue butuh lo.”
“Ini Nta” Bintang menyerahkan sebuah kotak merah “Bukalah, aku ingin kamu memakainya!”
Nanta membuka kotak itu, dan isi kotak itu sebuah kalung berliontin bintang berwarna putih.
“Ngga Bin, gue ga bisa make kalung ini.”
“Kalung itu akan selalu menemani kamu saat aku ngga ada....”
“Lo bakalan selalu ada di hati gue Bin,” Bintang terdiam dan mulai meneteskan air matanya. Nanta memeluk erat tubuh Bintang yang semakin melemah.
“Lo bener kan Bin? Lo bakalan keluar lusa? Kalo iya kenapa lo ngomong kaya gitu Bin?” Nanta pun mulai terisak.
“Kamu janji ya Nta! Kamu akan meneruskan tulisanku.” Nanta melepaskan pelukannya.
“Maksud lo apa Bin?”
“Sebenarnya waktuku sudah tidak banyak lagi, untuk itu aku ingin kamu menyelesaikannya.”
Nanta sangat terkejut mendengarnya. Tangisnya semakin menjadi, namun ia mencoba untuk tegar dan lebih kuat dibandingkan Bintang.
“Kamu juga janji ya Nta! Kamu ngga akan bunuh diri saat aku meninggal nanti, cuma karena orang yang mencintai kamu berkurang satu.”
Nanta hanya menyunggingkan seulas senyum di bibirnya dan mengangguk perlahan. Ia menyeka air mata di pipi Bintang.
“Gue janji Bin.”
“Tadi malam, aku bermimpi melihat banyak sekali bintang. Semua bintang itu terang dan sangat dekat. Sampai aku bisa menyentuhnya.” Bintang memejamkan matanya.
“Kamu mau tahu apa yang aku lihat saat ini?” tanya Bintang dalam keadaan mata masih terpejam.
“Aku melihat kamu ada dalam hatiku....” Bintang pun terdiam cukup lama. Nanta menggerak-gerakkan tubuh Bintang.
“Bin, bangun Bin! Bintang....” Bintang hanya diam tak bergeming. Tubuhnya menjadi dingin. Saat itulah Nanta menyadari bahwa Bintang telah,,,
###
Tiga bulan kemudian, Nanta berhasil memenangkan lomba menulis berjudul “Bintang Pergi ke Surga” . Di lembar terakhir buku itu, Nanta menuliskan sesuatu
Apa kau melihat apa yang ku lihat? Karena aku melihat keindahan di dirimu. Apa kau mendengar apa yang ku dengar? Karena aku mendengar suara merdumu. Apa kau merasakan apa yang ku rasakan? Karena aku merasakan sentuhanmu selembut jari ibuku.
Malam ini, aku datang ke kamar putih tempat kau tergolek.
Kucium aromamu saat terbujur kaku di atas pembaringan. Wajahmu pucat, namun masih ada kecantikan disana. Kulihat pula sinar keputihan saat malaikat membawa ruhmu naik ke surga. Kau tersenyum menatapku dan membiarkan bayanganku terbentuk di dalam mata indahmu.
Saat jasadmu menyatu dengan tanah, hatimu tidak akan hancur dimakan rayap, karena kau bawa aku menetap di dalam hatimu. Kaupun tak perlu takut akan kegelapan, karena sinar cintaku akan menjadi lilin yang seterang dirimu, Bintang.
Untuk Bintang yang telah mengajarkan bagaimana cara menyebarkan cinta.
Kabar Baik Hari Ini
4 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar